Ratusan WNI Diduga Disiksa hingga Tewas di Tahanan Imigrasi Malaysia

29 Juni 2022, 09:57 WIB
Ilustrasi Penjara /

BERITA MANDALIKA - Kelompok-kelompok hak asasi manusia mendesak otoritas imigrasi Malaysia untuk bertanggung jawab atas kematian ratusan Warga Negara Indonesia (WNI).

Sebelumnya, sebanyak 149 WNI diduga diperlakukan secara brutal saat ditahan di tempat penahanan selama 18 bulan terakhir.

Dalam sebuah laporan berjudul Like in HellLSM Indonesia menuding kurangnya kepedulian terhadap kesejahteraan tahanan dari petugas yang bertanggung jawab atas fasilitas di negara bagian Sabah di Malaysia.

260 orang, termasuk anak-anak, diduga dijejalkan ke dalam sel tak berjendela seukuran lapangan bulu tangkis, yang hanya dilengkapi tiga toilet.

Baca Juga : Presiden Ukraina Siap Bertemu dengan Vladimir Putin,Akhiri Perang ?

Abu Mufakhir, seorang aktivis Koalisi Migran Buruh Berdaulat, menceritakan salah satu kasus kekejaman yang diduga dilakukan petugas imigrasi Malaysia.

Dia mengatakan bahwa petugas tempat penahanan diduga meninggalkan seorang tahanan bernama Nathan, yang mengidap Down Syndrome dan berusia berusia 40-an. Petugas tidak menawarkan dukungan kesehatan meskipun Nathan jatuh sakit.

"Beberapa kali petugas meremehkan kondisi Nathan dengan mengatakan 'kamu masih bisa bertahan kan?', dan hanya memberinya Parasetamol," kata Abu.

Nathan meninggal di pusat penahanan Tawau pada Maret. Penyebab kematiannya tidak disebutkan dalam sertifikat kematiannya.

Jumlah korban tewas yang dikutip dalam laporan itu didasarkan pada data yang diberikan kepada Koalisi Buruh Migran Berdaulat oleh Kedutaan Malaysia di Jakarta, yang melaporkan adanya 2.191 deportasi antara Januari 2021 hingga 24 Juni tahun ini.

Abu kembali mengungkapkan, seorang tahanan lain bernama Aris bin Siang, meninggal pada September di pusat Tawau setelah diduga ditolak perawatan medisnya. Padahal dia telah kehilangan kesadaran beberapa kali dalam kurun waktu enam bulan penahanannya.

"Enam persen dari mereka yang ditahan meninggal. Ini bukan sesuatu yang bisa terjadi dalam keadaan normal," kata Abu dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Asia One pada Selasa, 28 Juni 2022.

"Tidak ada air bersih, makanannya mengerikan, bagaimana mungkin orang tidak mati ketika mereka hanya tidur dua hingga tiga jam sehari?" lanjutnya lagi.

Menyikapi tuduhan-tuduhan itu, [ejabat di departemen imigrasi tidak segera menanggapi permintaan komentar.

Di sisi lain, LSM tersebut juga menyoroti wabah kudis di antara para tahanan, serupa dengan situasi yang dilaporkan oleh portal berita Malaysia terhadap warga negara China yang ditahan di Johor.

Tahanan itu dikabarkan menderita bisul dan borok kulit, termasuk pada alat kelamin mereka. Bahkan penyakit itu tidak mereda hampir selama lima bulan lamanya.

Selain itu, diduga ketika tahanan meminta obat kepada petugas imigrasi, mereka menanggapi dengan ejekan, dan disuruh mendekatkan tangan ke dada dan mulai menggaruk sembari mengatakan, "Nah, itu obatnya."

Mengomentari dugaan perlakuan tidak manusiawi oleh petugas Malaysia, Dinda Nuur Annisaa Yura dari Solidaritas Perempuan mengatakan tindakan itu mirip dengan sikap era kolonial saat tahanan tidak hanya dihukum, tetapi juga 'didominasi'.

“Dari sini kita melihat paradigma, cara pandang yang tidak melihat para tahanan ini sebagai manusia,” kata Dinda.

Kementerian Dalam Negeri Malaysia, yang mengawasi departemen imigrasi dan operasinya, sejak 2019 melarang akses dari luar ke pusat-pusat penahanan negara itu, termasuk ke UNHCR, badan pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Tom Andrews selaku perwakilan PBB untuk situasi di Myanmar, mengatakan bahwa dia tidak beri akses untuk mengunjungi tempat penahanan para pengungsi Myanmar saat berkunjung ke Malaysia.

Selain itu, dia juga tidak mendapat tanggapan atas beberapa surat yang dikirim ke Kementerian Dalam Negeri untuk pertemuan.

"Saya sangat prihatin dengan laporan bahwa ratusan anak mungkin berada di fasilitas ini, termasuk anak-anak korban perdagangan manusia. Anak-anak tidak boleh ditempatkan di fasilitas penahanan migrasi," ujar Andrews.

Pengungsi Rohingya di dekat Kuala Lumpur juga mengajukan keluhan serupa tentang perlakuan mereka selama dalam tahanan, yang sebagian besar sesuai dengan apa yang diterbitkan oleh Koalisi Buruh Migran Berdaulat dalam laporannya.

Pengungsi Rohingya Abdul Qahhar, yang ditahan selama dua tahun, mengatakan para tahanan hanya diperbolehkan satu set pakaian sepanjang waktu mereka di tempat penahanan.

"Saya melihat satu orang dipukuli petugas imigrasi karena memiliki dua kaos," katanya saat dihubungi.

Awal tahun ini, kondisi yang diduga mengerikan di sebuah pusat penahanan di negara bagian utara Kedah memicu kerusuhan yang menyebabkan lebih dari 520 orang keluar dari tempat tersebut.

Sementara sebagian besar ditangkap kembali, enam orang termasuk dua anak-anak, tewas ketika mencoba menyeberangi jalan raya enam jalur.

Jerald Joseph, mantan komisaris Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (Suhakam), mengatakan organisasi itu telah menerima pengaduan rutin tentang dugaan penyiksaan yang dilakukan di dalam tempat penahanan imigrasi.

"Otoritas Malaysia di masa lalu percaya bahwa mencambuk tahanan akan menghalangi mereka yang memasuki negara itu tanpa dokumen," kata Jerald.***

Editor: Abdul Karim

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler